Monday, November 12, 2007


Agama Bukan Candu!


Isu tentang kekerasan yang dilakukan oleh rezim Junta Militer di Myanmar memang telah santer di media masa manapun. Isu ini merebak ketika ribuan biksu bersama-sama rakyat Myanmar turun kejalan pada bulan September. Apalagi dibarengi dengan tindakan kekerasan Aparat keamanan Myanmar. Berikut ini inti sari berita yang saya ambil dari salah satu media yang juga mengulas tentang masalah Myanmar ini, hingga dijadikan headline pada minggu-minggu bulan September.


Sekitar 1000 orang biksu di Myanmar menggelar aksi pada tanggal 4 September yang lalu. Aksi ini dipicu oleh kenaikan harga BBM yang mencapai 500%. Selain itu Aksi tersebut juga disebabkan oleh tingkat inflasi yang semakin membumbung tinggi. Keadaan ini begitu dirasakan oleh biksu, sehingga mereka melancarkan aksi turun ke jalan.
Sayangnya aksi ini ditanggapi represif oleh aparat keamanan Myanmar. Sejumlah biksu sempat dihajar oleh aparat. Karena itu, para biksu menuntut rezim militer untuk meminta maaf selambat-lambatnya 17 September lalu. Seperti yang kita ketahui bersama, rezim militer sama sekali tak mengindahkan tuntutan tersebut dan malah bertindak represif kembali ketika aksi turun ke jalan ribuan biksu di gelar kembali pada tanggal 27 September.
Kemudian timbul beberapa isu yang menyebutkan bahwa aksi biksu kali ini adalah bertujuan untuk menumbangkan rezim yang berkuasa. Tetapi, menurut Sann Aung, pimpinan kelompok perlawanan junta militer Myanmar di luar negeri, National Coalition Government (NCG), Biksu dan rakyat Burma sama sekali tak ingin menumbangkan rezim yang ada. Secara singkat, tuntutannya ada empat. Pertama, permintaan maaf rezim militer terhadap kekerasan yang telah dilakukan. Kedua, penurunan harga BBM. Ketiga, pelepasan tahanan politik, terutama Aung San Suu Kyi. Keempat, mereka meninginkan rekonsiliasi nasional.(JP)

Itulah sekilas gambaran perjuangan saudara kita di Myanmar untuk keluar dari keterpurukan oleh pemerintahan yang berkuasa. Saya tidak akan berbicara tentang Junta Militer, karena sudah mahfum ketika Militer yang berkuasa, maka segala tindakannya akan disandarkan dengan militer. Tentara dijadikan alat untuk melanggengkan keuasaan. Rakyat diperintah bak seorang tentara yang harus manut kepada atasan, karena terbentur olah hirarki yang didengung-dengungkan kemiliteran. Bukan pula tentang berbicara Aung San Suu Kyi, yang memang menjadi kebanggaan bagi kaum feminis. Saya akan bicara tentang para biksu yang dengan gigihnya memperjuangkan hak-hak rakyat Myanmar.


Para biksu yang terkenal dengan pengasingan diri dari hiruk pikuk dunia, kini secara mengejutkan mulai “turun gunung” memperjuangkan ketidakadilan yang ada di sekitarnya. Para pembela Budha ini agaknya telah merasa bahwa agama tidak hanya dijadikan media pemenuhan kebutuhan ruhiyah saja. Tidak hanya berhubungan dengan sang Khalik saja. Tidak hanya terjebak dalam ritual keagamaan saja. Tetapi memiliki dimensi sosial, yang ketika itu terjadi ketimpangan, maka rohaniawan menjadi garda terdepan dalam pembelaan ketimpangan tersebut.


Lihatlah para biksu tersebut mengorganisir rakyat Myanmar dengan baik. Tidak mungkin mereka hanya dengan sekali seruan dapat mengumpulkan begitu banyak massa Myanmar. Pasti karena kedekatan mereka dengan masyarakat yang diwujudkan dalam keseharian aktivitasnya. Atau karena mereka juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan oleh rakyat Myamnmar, sehingga pada frekuensi yang sama ini para rohaniawan dapat dengan mudah membawa rakyat Myanmar menuntut apa yang seharusnya diperolehnya. Yang jelas Mereka mampu menerjemahkan teks-teks suci mereka, ajaran ajaran keagamaan mereka menjadi sebuah simpul prilaku yang humanis.


Agama Budha telah menunjukkan kepada dunia melalui para biksunya, bahwa agamanya bukanlah candu. Agamanya bukan representatif penguasa yang akan mengeluarkan “fatwa” jika ada kepentingan politis dari penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Agamanya tidak menolerir adanya kekerasan kemanusiaan, baik secara mental maupun fisik yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Agamanya akan tergerak jika keadaan sekitarnya sudah tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, oleh rakyat, oleh umatnya.


Bagaimana dengan kyai kita, ustad kita, ulama kita? Apakah mereka mau turun ke jalan bersama rakyatnya untuk melakukan pembelaan terhadap ketidakadilan? Apakah ulama kita hanya akan berlindung pada ayat-ayat suci untuk bersembunyi dari realitas yang ada? Apakah kyai kita hanya akan berbicara masalah ketuhanan saja? Masalah halal dan haram saja? Masalah ibadah saja? Yang terakhir, apakah kita akan tetap mengamini apa yang dikatakan oleh Karl Max, bahwa AGAMA ADALAH CANDU?


Coba renungkan apa yang sebenarnya telah diajarkan Islam kepada kita. Karena tiap pribadi kita adalah ulama. Tiap diri kita adalah kyai. Tiap insan kita adalah ustad. Setidaknya bagi diri kita pribadi.

No comments: