Monday, November 12, 2007


Lonthe dan Firdaus


Lontheku.... terima kasih atas pertolonganmu...


Itulah cupilkan lirik tembang ciptaan Iwan Fals yang berjudul “Lontheku”. Lagu tersebut menceritakan pelarian seseorang dari kejaran aparat, kemudian diselamatkan oleh seorang lonthe yang kebetulan bertemu disuatu tempat ketika pengejaran sedang berlangsung.


Lonthe? Kalau kamu orang Surabaya pasti tahu apa itu lonthe. Lonthe adalah sebutan bagi seorang pelacur atau bahasa lainnya PSK di Surabaya. Entah di daerah lain juga menyebut demikian. Yang jelas bagi kebanyakan orang, sebutan ini lebih kasar dari sebutan pelacur. Sama dengan kata mbadog sebagai kata lain dari makan. Atau kata cocot sebagai sinonim dari kata mulut. Kok tahu? Orang Surabaya....


Ngomong-ngomong soal pelacur, jadi teringat kata guru ngajiku dulu ketika aku masih SD. Waktu masih main kelereng atau mercon pada bulan puasa. Atau main layangan di saat musim kemarau tiba. Dan semakin tertancap di otakku ketika kyai kanjeng dies natalis ITS kemarin juga sempat berbicara hal yang sama, pelacur. Pasti kamu sudah berkali-kali mendengar cerita tersebut. Tapi meski begitu, tetap akan aku ulas, karena bukan ceritanya yang menjadi titik tekan disini, tetapi perbedaan penafsiran antara orang tekstual dengan substansial.



Guru ngajiku tersebut lalu bercerita... “Pada jaman dulu, sewaktu belum ada internet dan bollywood, ada seorang pelacur yang tinggal disebuah kota di derah timur tengah. Ia tanpa kenal lelah melacur dari petang hingga pagi. Siklus yang tidak biasa bagi kebanyakan orang. Karena profesinya itu, ia merasa menjadi orang terkotor di dunia. Ia merasa dosanya sudah tidak dapat diampuni Allah agi....”


Setelah nyruput kopi sebentar, guru ngajiku meneruskan ceritanya, “Suatu hari, setelah pulang dari bekerja, di tengah jalan, ia sangat merasa sangat haus. Dicarinya penjual es cendol buat penawar rasa haus. Setelah menengok kana kiri, ternyata tidak satupun penjual es cendol yang melintas. Persetan dengan es cendol, pikirnya. Mungkin ada es cao, es degan, es temulawak, es.....”.


Belum sempat beliau meneruskan, temanku bertanya, “Ustad, emang di arab sono ada es cendol? Apa lagi es cao, es temulawak, es degan?”.


“Makanya dia gak nemu itu es, dodol!!! jangan tanya dulu lah, biar tak terusin ceritanya...”, timpal guru ngajiku.


“Sampai mana tadi? oh. Iya.. setelah ia berjalan begitu lama, ia menemukan sebuah sumur yang kelihatannya tidak bertuan. Kemudian ia mengambil air itu dengan sepatunya. Apesnya, air yang ada di sumur itu tinggal sedikit. Hanya cukup ditampung di sepatunya....”, Guru ngajiku melanjutkan ceritanya.


“Setelah bersusah payah mengambil air dari sumur yang dalam tersebut, tiba-tiba dari arah yang berlawanan, datang seekor anjing yang kehausan pula. Karena iba dengan anjing tersebut, ia meminumkan air yang telah diambilnya tadi ke seekor anjing yang ditemuinya itu. Ternyata tanpa sungkan atau pakewuh, anjing tersebut meminum air pemberian sang pelacur sampai habis. Biarlah, yang penting anjing ini selamat dari kehausan, ujarnya.”.


“Tidak lama kemudian, sang pelacur tersebut meninggal. Di Akherat, ternyata ia dimasukkan surga oleh Allah lantaran keikhlasan memberikan minum ke seekor anjing...”.


Lho, ustad! Enak dong jadi pelacur... cuman ngasih minum anjing, udah bisa masuk surga?” tanya temanku lagi.


“Eh, mana ada pelacur yang enak hidupnya?”, Kata guruku.


“Lha iya to, kalau gitu aku bisa saja jadi pelacur, trus aku suruh temanku mencari anjing yang kehausan. Ketika aku mengambil air di sumur, aku minta temanku melepaskan anjing itu dan aku memberi anjing itu minum, masuk surgalah aku...”, lanjut temanku, tidak mau kalah.


Kalau itu jelas nggak masuk surga, karena kamu ngasih minum bukan karena ikhlas, tapi karena mengharapkan surga Allah... sampai merekayasa kejadian segala...”, Jawab guruku menerangkan.


“Hikmah yang bisa diambil dari cerita ini adalah Maghfirah atau ampunan Allah begitu besar, sehingga jangan sungkan-sungkan meminta ampunan kepada Allah. Meski dosa kamu sangat besar, tetapi ampunan Allah lebih besar dari dosa-dosamu itu.”, lanjut beliau sambil menutup pengajian sore itu.


Begitulah cerita guruku. Sampai sekarang, aku masih ingat hikmah cerita itu. Memang, tidak ada orang waras yang mempunyai cita-cita menjadi pelacur. Himpitan ekonomilah yang memacu orang mencari jalan pintas untuk mendapat rejeki, salah satunya menjadi pelacur. Apakah pelacur tidak tahu bahwa yang mereka lakukan adalah salah? Kata sahabatku, cobalah berikan kuisioner di gang Doli tentang dosa tidaknya melacur. Pasti 100% menjawab bahwa melacur itu dosa.


Baru-baru ini kudengar temanku yang sering bertanya waktu pengajian sore dulu itu masuk FPI. Semoga lebih maghfirah disana.


Agama Bukan Candu!


Isu tentang kekerasan yang dilakukan oleh rezim Junta Militer di Myanmar memang telah santer di media masa manapun. Isu ini merebak ketika ribuan biksu bersama-sama rakyat Myanmar turun kejalan pada bulan September. Apalagi dibarengi dengan tindakan kekerasan Aparat keamanan Myanmar. Berikut ini inti sari berita yang saya ambil dari salah satu media yang juga mengulas tentang masalah Myanmar ini, hingga dijadikan headline pada minggu-minggu bulan September.


Sekitar 1000 orang biksu di Myanmar menggelar aksi pada tanggal 4 September yang lalu. Aksi ini dipicu oleh kenaikan harga BBM yang mencapai 500%. Selain itu Aksi tersebut juga disebabkan oleh tingkat inflasi yang semakin membumbung tinggi. Keadaan ini begitu dirasakan oleh biksu, sehingga mereka melancarkan aksi turun ke jalan.
Sayangnya aksi ini ditanggapi represif oleh aparat keamanan Myanmar. Sejumlah biksu sempat dihajar oleh aparat. Karena itu, para biksu menuntut rezim militer untuk meminta maaf selambat-lambatnya 17 September lalu. Seperti yang kita ketahui bersama, rezim militer sama sekali tak mengindahkan tuntutan tersebut dan malah bertindak represif kembali ketika aksi turun ke jalan ribuan biksu di gelar kembali pada tanggal 27 September.
Kemudian timbul beberapa isu yang menyebutkan bahwa aksi biksu kali ini adalah bertujuan untuk menumbangkan rezim yang berkuasa. Tetapi, menurut Sann Aung, pimpinan kelompok perlawanan junta militer Myanmar di luar negeri, National Coalition Government (NCG), Biksu dan rakyat Burma sama sekali tak ingin menumbangkan rezim yang ada. Secara singkat, tuntutannya ada empat. Pertama, permintaan maaf rezim militer terhadap kekerasan yang telah dilakukan. Kedua, penurunan harga BBM. Ketiga, pelepasan tahanan politik, terutama Aung San Suu Kyi. Keempat, mereka meninginkan rekonsiliasi nasional.(JP)

Itulah sekilas gambaran perjuangan saudara kita di Myanmar untuk keluar dari keterpurukan oleh pemerintahan yang berkuasa. Saya tidak akan berbicara tentang Junta Militer, karena sudah mahfum ketika Militer yang berkuasa, maka segala tindakannya akan disandarkan dengan militer. Tentara dijadikan alat untuk melanggengkan keuasaan. Rakyat diperintah bak seorang tentara yang harus manut kepada atasan, karena terbentur olah hirarki yang didengung-dengungkan kemiliteran. Bukan pula tentang berbicara Aung San Suu Kyi, yang memang menjadi kebanggaan bagi kaum feminis. Saya akan bicara tentang para biksu yang dengan gigihnya memperjuangkan hak-hak rakyat Myanmar.


Para biksu yang terkenal dengan pengasingan diri dari hiruk pikuk dunia, kini secara mengejutkan mulai “turun gunung” memperjuangkan ketidakadilan yang ada di sekitarnya. Para pembela Budha ini agaknya telah merasa bahwa agama tidak hanya dijadikan media pemenuhan kebutuhan ruhiyah saja. Tidak hanya berhubungan dengan sang Khalik saja. Tidak hanya terjebak dalam ritual keagamaan saja. Tetapi memiliki dimensi sosial, yang ketika itu terjadi ketimpangan, maka rohaniawan menjadi garda terdepan dalam pembelaan ketimpangan tersebut.


Lihatlah para biksu tersebut mengorganisir rakyat Myanmar dengan baik. Tidak mungkin mereka hanya dengan sekali seruan dapat mengumpulkan begitu banyak massa Myanmar. Pasti karena kedekatan mereka dengan masyarakat yang diwujudkan dalam keseharian aktivitasnya. Atau karena mereka juga merasakan hal yang sama dengan apa yang dirasakan oleh rakyat Myamnmar, sehingga pada frekuensi yang sama ini para rohaniawan dapat dengan mudah membawa rakyat Myanmar menuntut apa yang seharusnya diperolehnya. Yang jelas Mereka mampu menerjemahkan teks-teks suci mereka, ajaran ajaran keagamaan mereka menjadi sebuah simpul prilaku yang humanis.


Agama Budha telah menunjukkan kepada dunia melalui para biksunya, bahwa agamanya bukanlah candu. Agamanya bukan representatif penguasa yang akan mengeluarkan “fatwa” jika ada kepentingan politis dari penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Agamanya tidak menolerir adanya kekerasan kemanusiaan, baik secara mental maupun fisik yang dilakukan oleh penguasa terhadap rakyatnya. Agamanya akan tergerak jika keadaan sekitarnya sudah tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat, oleh rakyat, oleh umatnya.


Bagaimana dengan kyai kita, ustad kita, ulama kita? Apakah mereka mau turun ke jalan bersama rakyatnya untuk melakukan pembelaan terhadap ketidakadilan? Apakah ulama kita hanya akan berlindung pada ayat-ayat suci untuk bersembunyi dari realitas yang ada? Apakah kyai kita hanya akan berbicara masalah ketuhanan saja? Masalah halal dan haram saja? Masalah ibadah saja? Yang terakhir, apakah kita akan tetap mengamini apa yang dikatakan oleh Karl Max, bahwa AGAMA ADALAH CANDU?


Coba renungkan apa yang sebenarnya telah diajarkan Islam kepada kita. Karena tiap pribadi kita adalah ulama. Tiap diri kita adalah kyai. Tiap insan kita adalah ustad. Setidaknya bagi diri kita pribadi.

Thursday, November 08, 2007


Selamatkan Pendidikan dari Komersialisasi, Sekarang!!!

Isu tentang Badan Hukum Pendidikan tidak sekencang ketika saya masih maba dulu. Entah ini disengaja agar tidak ada suara kritis dari mahasiswa atau memang kita sudah melupakannya. Tetapi penetapan institusi pendidikan (mulai SD sampai perguruan tinggi) statusnya menjadi Badan Hukum pelan tapi pasti akan ditetapkan di Indonesia tercinta ini. Akankah orang miskin di Indonesia terperangkap ke dalam putaran setan kemiskinan, karena kesulitan mendapatkan akses pendidikan? Dengan kaos ini, setidaknya semangat anda untuk menolak komersialisasi pendidikan tersuarakan kembali.



Kami mengambil contoh kampus kami sendiri sebagai awal untuk membangun semangat yang sama di kampus-kampus lain. Saatnya kita bicara kawan!

nb : tentang BHP, anda bisa memberikan komentar apapun, baik yang pro maupun yang kontra, kita siap berdiskusi.